PerpusHukum Network

Beranda » Journal » Sri Mamudji: Jadi Pustakawan Hukum itu Menyenangkan

Sri Mamudji: Jadi Pustakawan Hukum itu Menyenangkan

Follow Us on Twitter

Ibu Sri MamudjiSri Mamudji adalah salah seorang dengan latar belakang keilmuan pustakawan hukum. Ia meraih gelar Magister Perpustakaan Hukum (MLaw.Lib) dari University of Washington di Seattle, Amerika Serikat. Namun bukan hanya latar belakang keilmuan itu yang membuat Bu Cici –begitu ia biasa disapa koleganya—jadi seorang pakar penelusuran literatur hukum, tetapi juga pengalamannya selama tujuh tahun sebagai Kepala Perpustakaan Universitas Indonesia.

Namun, pustakawan hukum belum menjadi profesi yang menggiurkan. Seperti pustakawan pada umumnya, pandangan miring masyarakat masih melekat. Tugasnya seolah-olah hanya melayani pengunjung perpustakaan. Sri Mamudji juga mengingkari pandangan itu. Malah ada pandangan bahwa menjadi pustakawan hukum itu adalah profesi yang ‘kering’.

Untuk mengetahui pandangan dan pengalamannya selama ini, Sri Mamudji bersedia meluangkan waktu wawancara bersama hukumonline. Wawancara berlangsung hangat di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, beberapa waktu lalu. Berikut wawancara Muhammad Vareno dari hukumonline dengan dosen mata kuliah Penelusuran Literatur Hukum itu:

Apa sebenarnya beda pustakawan hukum dengan pustakawan lainnya?

Sekolahnya sebenarnya tidak dibedakan, sama-sama belajar ilmu perpustakaan. Tapi memang kalau perpustakaan hukum, cara koleksi dan cara penyusunannya dibedakan dengan perpustakaan lain. Di perpustakaan lain, misalnya undang2 disamakan dengan buku karena bentuknya sama. Sementara di perpustakan hukum kan beda, koleksi peraturan perundangan itu dipisahkan tersendiri.

Pengelolaan dan pengelompokan sumbernya beda antara perpus umum dengan perpus hukum. Kalau perpus umum kan hanya ada dua pengelompokan, sumber primer dan sekunder. Peraturan perundangan dan buku-buku itu masuk sumber primer, dicampur saja.

Tapi kalau di bidang hukum, peraturan perundang-undangan dan sumber hukum yang mengikat dikelompokkan sebagai sumber primer. Sedangkan buku, jurnal, dan sebagainya merupakan sumber sekunder. Selanjutnya, kamus, indeks, ensiklopedi, dan sebagainya digolongkan sebagai sumber tersier.

Ada perbedaan juga jika dikaitkan dengan sistem hukum.  Kenapa jurusan pustawakan hukum ini ada di Amerika, karena sistem hukumnya common law. Dalam sistem itu, perpustakaan hukum banyak dimanfaatkan oleh para hakim dan lawyer karena mereka kan lebih banyak memakai yurisprudensi putusan pengadilan. Yurisprudensi sangat dipakai di sana. Putusan pengadilan selalu jadi acuan mereka. Sementara kita kan civil law, hakim dan penegak hukum lain tidak begitu perlu dengan perpustakaan. Itu yang membedakan.

Bagaimana ceritanya Anda mengambil gelar magister perpustakaan hukum?

Dulu, Daniel S. Lev datang ke Indonesia menawarkan beasiswa Master Lawlib di Amerika Serikat, walaupun yang dibayari hanya tution fee-nya saja. Kebetulan satu-satunya calon adalah saya. Lalu saya juga direkomendasikan Prof Mardjono Reksodiputro ke Ford Foundation untuk dapat sponsor biaya hidup di sana. Alhamdulillah, dapatlah belajar ke sana.

Anda kok bisa tertarik?

Sebenarnya dulu ketika ujian masuk ui, saya milih tiga. Hukum, psikologi, dan ilmu perpustakaan JIP. Dari dulu saya memang sudah punya keinginan juga mendalami ilmu perpustakaan. Namun saya malah diterima di Fakultas Hukum.

Begitu lulus tahun 1975, saya jadi asisten Prof Prajudi Atmosudirdjo untuk mengajar mata kuliah Hukum Administrasi Negara. Kemudian saya juga diminta Dekan FH UI (saat itu) Bu SJ Hanifa membantu di perpustakaan. Tugas pertama saya adalah mencatat kembali semua koleksi yang ada di perpustakaan, satu persatu. Yah, namanya juga anak baru, hehehe…

Kemudian saya dapat kesempatan kursus untuk petugas perpustakaan di lingkungan UI selama tiga bulan. Habis itu dikirim Prof Mardjono kursus sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Lalu tahun 1977 saya dapat kesempatan short course ke Georgia Technology Atlanta Amerika Serikat. Ini program dari Depdiknas dengan sponsor USAID, untuk kursus perpustakaan selama empat bulan dari Juni – Oktober. Begitu ulang ke Indonesia, saya jadi wakil kepala perpustakaan. Baru tahun 1980 saya dapat beasiswa S2 ke Seattle, di University of washington, Seattle.

Bedanya apa dengan kuliah ilmu perpustakaan?

S2 ilmu perpustakaan itu disebut master of librarianship. Kreditnya 60. Tapi yang latarbelakang hukum, master of law librarianship kreditnya cuma 45. Kuliahnya ada yang sama, tapi kita ada kuliah tambahan yang khusus hukum. Misalnya metode penelusuran dan penelitian hukum.

Kesulitan pengelolaan perpustakaan hukum selama ini?

Kesulitannya dana. Ini klise, tapi sangat berpengaruh. Bahkan bukan hanya dialami perpustakaan hukum, tapi juga perpustakaan yang lebih umum.  Saya pernah jadi kepala perpustakaan UI selama tujuh  tahun. Masalahnya dana juga. Pengaruhnya ke banyak hal, ya pengadaan buku, ya perbaikan fasilitas perpustakaan.

Kalau sekarang Alhamdulillah banyak bantuan, sumbangan buku. Tapi dana dari pemerintah itu sangat sedikit. Terutama yang terasa itu untuk pengadaan majalah atau jurnal. Kalau majalah atau jurnal itu kan harus berkesinambungan. Sementara selama ini dananya hanya proyek selama waktu tertentu, misalnya setahun. Setelah lewat waktu, dana habis, ya pengadaan majalah atau jurnalnya juga berhenti. Kalau buku kan sekali beli bisa dipakai beberapa tahun. Sementara majalah tidak bisa. Harus update terus. Ini pengalaman saya waktu jadi kepala perpustakaan pusat ui. Ada dana proyek pengadaan jurnal. Tap begitu dananya habis, berhenti pengadaan jurnalnya.

Masalah lain?

Koleksi perpustakaan juga kurang lengkap. Tidak sedikit orang yang koleksi pribadinya justru lebih lengkap dari koleksi perpustakaan. Jadinya kan malas ke perpustakaan. Misalnya mahasiswa, bapaknya lawyer. Koleksi buku bapaknya lebih lengkap dari pada di sini.

Pengadaan buku juga sulit karena harus mengikut aturan pengadaan barang dan jasa Pemerintah (Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah). Padahal, seringkali bukunya sudah ada, tapi dananya masih lama keluar karena harus persetujuan dari beberapa tingkat jabatan. Soalnya ini kan uang negara.

Menurut Anda, bagaimana prospek pustakawan hukum?

Memang anggapan orang, ini pekerjaan kering. Kayaknya cuma ngasih pelayanan saja kerjanya. Saya pun dulu dianggap begitu. Baru lulus kan saya sudah kerja di perpustakaan FH UI. Banyak teman yang menanyakan, nggak salah kamu di sini? Termasuk ada juga dosen yang bertanya begitu. Padahal sebenarnya kalau sudah di dalam, sangat menyenangkan.

Apalagi ada banyak kegiatan yang bisa membuat saya traveling ke beberapa negara. Selain itu, ada juga banyak kelebihan sebagai pustakawan saya merasa lebih banyak tahu dibanding orang lain. Soalnya kan setiap ada buku baru,kita harus baca untuk menentukan klasifikasinya. Paling tidak garis besarnya tahu. Masalahnya memang tidak ada keinginan membuat perpustakaan di universitas itu maju. Orang selalu bilang perpustakaan itu jantungnya pendidikan tinggi, tapi hanya sebatas lip service saja.

Apa tidak bisa jadi sandaran hidup?

Sebenarnya tidak juga. Sebetulnya saya sudah berkecukupan, apalagi saat jadi Kepala Perpustakaan UI, bisa keliling indonesia dengan dibiayai Depdiknas. Mungkin karena pandangan orang terhadap perpustakaan itu. Selama ini dianggap perpustakaan itu kan cuma gudang buku, bukan sumber ilmu.

Meski demikian, memang untuk pustakawan hukum pegawai pemerintah agak susah. Terutama masalah kenaikan pangkat. Di sini susah karena syarat birokrasinya berat. Pustawakan hukum di lembaga pemerintahan sejauh ini belum bisa jadi sandaran hidup sepenuhnya. Beda dengan di swasta, seperti kantor pengacara. Paling tidak dana mereka cukup, selain untuk melengkapi koleksi buku juga menggaji pustakawannya.

Banyak tidak sarjana hukum yang mendalami ilmu ini?

Saya tidak tahu jumlahnya. Tapi sepengetahuan saya, setelah saya ada lagi yang ambil S2 master lawlib. Cuma saya tidak kenal. Tapi memang tidak begitu banyak. Karena programnya setahu saya cuma ada di kampus saya dulu. Malah sekarang sudah digabung dengan master library science. Cuma tesisnya nanti bisa dikhususkan ke lawlib.

Bagaimana Anda melihat perkembangan perpustakaan hukum di Indonesia?

Bagi beberapa universitas, yang jadi masalah adalah aturan di perguruan tinggi itu hanya boleh ada perpustakaan pusat. Padahal, beberapa universitas memiliki jumlah perpustakaan yang lebih banyak dari jumlah fakultasnya karena memang kebutuhannya seperti itu, termasuk perpustakaan hukum. Di UI perpustakaannya ada 18, selain tingkat universitas, fakultas dan beberapa jurusan juga punya perpustakaan sendiri. Di UGM malah ada 45 perpustakaan.

Tapi secara finansial, sebenarnya memang lebih baik dipusatkan karena universitas yang menanggung biayanya. Jadi pengadaan buku dan fasilitas bisa lebih baik. Sebab, memang masih banyak perpustakaan hukum yang perlu perhatian lebih. Ada satu fakultas hukum yang saya tahu, buku-bukunya justru lebih banyak di ruang dekan.

Minat baca mahasiswa di perpustakaan fakultas hukum?

Sejak sistem SKS, minat baca di Fakultas Hukum sangat jauh lebih tinggi. Sebab ada kewajiban kan dari kelas, dosen memberikan tugas yang harus dicari di perpustakaan. Jaman sebelum sks, saat saya jadi kepala perpustakaan, kurang sekali. Ada malah mahasiswa yang baru datang ke perpustakaan saat akan menulis skripsi, sebelumnya tidak pernah sama sekali.

Bagaimana hubungan antar pustakawan hukum di Indonesia?

Kita punya jaringan dokumentasi dan informasi hukum (JDIH). Ini forum semua perpustakaan hukum, perguruan tinggi, kantor pengacara, pemda, biro hukum. Itu anggota kita. Dijadwalkan setahun sekali ketemu. Masalahnya, jalannya forum agak tersendat. Justru masing-masing anggota lebih maju sendiri-sendiri. Soalnya koordinasi di bawah BPHN sulit.

Padahal, niatnya bagus, untuk melengkapi kekurangan bahan di masing-masing perpustakaan yang ada. Sebab, tidak ada di Indonesia perpustakaan yang benar-benar lengkap. Jadi dengan jaringan ini, niatnya siapapun bisa saling meminjam buku. Misalnya kalau orang Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad) mau pinjam buku yang ada di UI, dia tidak perlu datang ke  UI. Cukup pinjam di Unpad saja. Nanti perpustakaan Unpad yang akan meminjamkan ke UI, dan sebaliknya. Intinya untuk pinjam silang.

Sistem ini sebenarnya sudah jalan secara internasional. Indonesia sendiri juga bagian dari jaringan internasionalnya. Kita bisa pinjam buku di library of congress amerika dengan mendatangi perpustakaan nasional di Jakarta.  Di JDIH, tadinya sudah akan jalan. Dulu, idenya setiap anggota jaringan mengirim katalog koleksi yang dimiliki untuk disatukan dalam katalog induk di BPHN. Kami (UI) sudah menyetor katalog yang dimiliki untuk disatukan dengan data yang lain. Tapi hingga saat ini tidak ada kelanjutannya.

Apa kendalanya?

Tersendatnya, selain masalah dana, juga keinginan. Koordinator jaringan ini, BPHN, tidak menjalankan dengan baik. Padahal jaringan ini sudah dirintis sejak tahun 1970. Dimotori oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, ibu Suwantji, dan Prof. Wahyono Darmabrata. Sejak itu sudah banyak sekali ahli perpustakaan dan dokukmentasi yang menjadi konsultan di BPHN, akan tetapi kesinambungan suatu program sering terhambat karena adanya pergantian pimpinan. Saya sendiri membantu BPHN sejak tahun 1984 sampai sekarang.

*Disadur dari Hukumonline


1 Komentar

  1. syanditra berkata:

    klo skrg siy paling banyak dey yang mupeng kerja di Perpustakaan Hukum hehehehehe

Tinggalkan komentar